Nama Indonesia adalah istilah yang diciptakan oleh James Richardson Logan, seorang Skotlandia sarjana hukum dari Universitas Edinburgh dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) Volume IV halaman 252-347, tahun 1850. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
Gedung Harmoni (Belanda: Societeit Harmonie) tempat perkumpulan dan pesta orang Belanda berdiri di di sudut Rijswijk (kini Jalan Veteran) dan Rijswijkstraat (kini Jl. Majapahit). Gedung itu diprakarsai oleh Gubernur Jendral Reinier de Klerk tahun 1776 dan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Inggris Raffles. Gedung Harmoni secara resmi dibuka pada Agustus 1868, namun Pada bulan Maret 1985, gedung Harmoni dirobohkan untuk pelebaran jalan dan tempat parkir kantor Sekretariat Negara.”
Di kawasan Harmoni dulu terdapat Hotel Des Indes (1856 – 1960), hotel paling baik sebelum dibangun Hotel Indonesia pada awal 1960-an. Hotel yang bersejarah ini pernah digunakan oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia jelang proklamasi kemerdekaan Agustus 1945. Hotel ini diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin.”
Jawa Barat adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dengan sebutan Provincie West Java (Provinsi Pasundan), diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.”
Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden SBY (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Najib Razak (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei)
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.
Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting
tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?
Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.
Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no. 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat din hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.
Perjuangan frontal melawan Belanda, ternyata tidak hanya menelan korban rakyat biasa, tetapi juga seorang menteri kabinet RI. Soepeno, Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta, merupakan satu-satunya menteri yang tewas ditembak Belanda. Sebuah ujung revolver, dimasukkan ke dalam mulutnya dan diledakkan secara keji oleh seorang tentara Belanda. Pelipis kirinya tembus kena peluru. Kejadian tersebut terjadi pada 24 Februari 1949 pagi di sebuah tempat di Kabupaten Nganjuk , Jawa Timur. Saat itu, Soepeno dan ajudannya sedang mandi sebuah pancuran air terjun.
Belum ada negara di dunia yang memiliki ibu kota sampai tiga dalam kurun waktu relatif singkat. Antara 1945 dan 1948, Indonesia mempunyai 3 ibu kota, yakni Jakarta (1945-1946), Yogyakarta ( 1946-1948 ) dan Bukittinggi (1948-1949).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar